Definisi Iklan
Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seseorang pembeli potensial dan mempromosikan penjual suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat publik, memenangkan dukungan publik untuk berpikir atau bertindak sesuai dengan keinginan si pemasang iklan.
Sedangkan menurut Paul Copley, advertising is by and large seen as an art – the art of persuasion – and can be defined as any paid for communication designed to inform and/ or persuade. Dimana iklan adalah sebuah seni dari persuasi dan dapat didefinisikan sebagai desain komunikasi yang dibiayai untuk meninformasikan dan atau membujuk.
Dari beberapa pengertian diatas, pada dasarnya iklan merupakan sarana komunikasi yang digunakan komunikator dalam hal ini perusahaan atau produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya pelanggannya melalui suatu media massa. Selain itu, semua iklan dibuat dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberi informasi dan membujuk para konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut, dapat berupa aktivitas mengkonsumsi produk dan jasa yang ditawarkan.
Langkah-langkah membuat Iklan yaitu:
1. Bahasa iklan.
· mempunyai daya tarik, sopan dan logis.
· Ungkapan atau majas digunakan sebagai pemikat
· Bahasa yang disusun secara singkat dalam menonjolkan bagaimana yang diperintahkan
2. Isi
· Bersifat objektif, singkat dan jelas
· Disusun tidak menyinggung produsen atau golongan yang lain.
· Menarik perhatian orang atau konsumen
3. langkah menyusun iklan:
· Mempelajari apa yang di iklankan dan mengetahui produk pesaingnya.
· Mempelajari tujuan produk yang akan diiklankan.
· Melakukan kegiatan pengumpulan ide-ide.
· Memilih ide yang paling terbaik.
· Pemberin sound efeck.
Ciri ciri iklan yang baik harus memiliki kriteria di bawah ini :
1. Mempunyai sasaran yang jelas,dengan menentukan target konsumen ada target utama dan target kedua,ini juga untuk menentukan media pasang iklan dan penetapan target konsumen tergantung pada kualitas,harga,distribusi(jangkauan pemasaran)
2. Mempunyai fokus atas hal yang ingin di komunikasikan dariproduk dan jasa yang di iklankan
3. Mempunyai daya tarik tertentu hingga konsumen yang di sasarnya bisa berhenti untuk memperhatikan isi iklan,selain kata kata menarik,daya tarik iklan muncul dari desain layout yang menarik.
4. Sajikan iklan dengan menarik karena suatu iklan dengan isi pesan bagus jika tidak di sajikan bagus tak akan menarik.
5. Komunikasi iklan memiliki empat unsur utama yaitu :
a.Pengirim iklan adalah produsen atau dalam bisnis periklanan di wakili biro iklan
b.Isi iklan dalam iklan ada headline kalimat singkat tidak lebih dari 10 kata dan di harapkan konsumen langsung dapat banyak informasi mengenai produk dan jasa body copy adalah informasi tambahan bila konsumen tertarik.
c.Media komunikasi tempat iklan di sajikan baik di media cetak,media elektronik atau media lainnya antara lain media internet yang penetrasinya di indonesia masih kurang,billboard dll.
d.Penerima iklan konsumen yang di sasar produk barang atau jasa kita
6.Pilihlah slogan dengan kata kata padat dan berisi yang merupakan gambaran terhadap headline di mana konsumen dapat membaca lebih detail.
Contoh:
Iklan Kartu Simpati
Kartu simpati harga Rp 10 ribu, sampai Rp 100 ribu. Pakai kartu simpati nelpon dan sms sampai puas, jaringan luas berkualitas. Simpati jagoan nelpon,gratis setiap hari 300 menit plus 300 sms. Bonus akses internet sampai 10 MB, gratis chating paket mingguan, bonus puluhan content dan bonus isi ulang sampai lima kali. Dapatkan bonus maksimal di *999# dan bonus bisa dicek di *889#.
Minggu, 20 Mei 2012
Sabtu, 19 Mei 2012
Perkembangan Pragmatik di Dunia
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.
Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:
Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu.
Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur.
Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.
Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan.
Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur.
Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.
Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik.
Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik.
Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung.
van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
C. Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secara umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.
D. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit di awal, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
Simpulan
Pragmatik adalah studi baru dalam ilmu bahasa di dunia termasuk Indonesia. Namun, perkembangannya sangat pesat. Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat bahasa yang dapat dimengerti melalui linguistik, agar bahasa dapat digunakan dalam komunikasi. Linguistik adalah studi yang jangkauannya semakin meluas sehingga menyebabkan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik juga berubah dan semakin meluas. Banyak pemikir pragmatik bermunculan bersama karyanya, membawa pengetahuan dan perkembangan baru bagi studi yang dapat dikatakan baru seumur jagung ini. Meskipun hingga saat ini, mereka yang mengembangkan paradigma pragmatik masih mendapat pengaruh besar terutama dari Austin dan Searle, perumus pandangan tentang makna dari segi daya ilokusi, dan dari Grice yang memandang makna dari segi amplikatur percakapan. Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Sabtu, 12 Mei 2012
DEFENISI WACANA
Pengertian Wacana Menurut Beberapa Ahli Bahasa :
1.
Aminuddin
Wacana adalah kesuluruhan unsur-unsur yang membangun
perwujudan paparan bahasa dalam peristiwa komunikasi. Wujud konkretnya dapat
berupa tuturan lisan maupun teks tulis. Lebih lanjut, ia menyatakan ruang
lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif paparan bahasa
berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik
yang ada pada penutur maupun penanggap.
2.
Soeseno Kartomihardjo
Soeseno Kartomihardjo menyatakan bahwa analisis wacana
merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit
bahasa yang lebih besar daripada kalimat dan lazim disebut wacana. Unit yang
dimaksud dapat berupa paragraf, teks bacaan, undangan, percakapan, cerpen, dan
sebagainya. Analisis wacana berusaha mencapai makna yang persis sama atau
paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam
wacana lisan atau oleh penulis dalam wacana tulisan. Analisis wacana banyak
menggunakan pola sosiolinguistik, suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah bahasa
di dalam masyarakat.
3. Michael Stubbs
Stubbs menyatakan bahwa analisis wacana merujuk
pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas kalimat atau klausa, dan
karenanya mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran
percakapan atau teks tulis. Analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada
waktu digunakan dalam konteks sosial, dan khususnya interaksi atau dialog antar
penutur.
4.
Jan Renkema
Renkema mengemukakan studi wacana adalah disiplin
ilmu yang ditekuni untuk mencari hubungan antara bentuk dan fungsi di dalam
komunikasi verbal. Studi wacana merupakan disiplin ilmu linguistik yang
bertujuan menyelidiki bukan saja hubungan antara bentuk dan makna, melainkan
juga keterkaitan antara bentuk dan fungsi bahasa di dalam komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai sarananya.
5.
Abdul Chaer
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, sehingga
dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran
atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau
oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Wacana dikatakan
tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan
lainnya (kohesi dan koherensi). Kekohesian adalah keserasian hhubungan antar
unsur yang ada. Wacana yang kohesif bisa menciptakan wacana yang koheren
(wacana yang baik dan benar)
6.
B.H.Hoed
Wacana adalah suatu bangun teoritis yang bersifat
abstrak. Wacana dikaji sebagai bangun teoritis yang memperlihatkan hubungan
antara satu proposisi atau sejumlah proposisi dengan kerangka acuannya yang
berupa konteks dan sittuasi. Dalam batasan tersebut, B.H.Hoed membedakan antara
wacana yang bersifat abstrak dan termasuk dalam tataran langue dengan teks yang
bersifat konkret (merupakan realisasi wacana) dan termasuk dalam tataran
parole.
7.
Bambang Yudi Cahyono
Analisis wacana adalah ilmu yang mengkaji organisasi
wacana di atas tingkat kalimat atau klausa. Wacana dibentuk dari satuan bahasa
di atas klausa atau kalimat, baik lisan seperti percakapan maupun tulis seperti
teks-teks tertulis.
8.
Norman Fairclough
Wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah
bentuk praktek sosial, dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana
teks bekerja/berfungsi dalam praktek sosia-budaya. Dalam hal ini Fairclough
memandang wacana sebagai bentuk praktek sosial yang terungkap melalui pemakaian
bahasa. Dengan demikian analisis wacana berusaha menjelaskan bagaimana bahasa
(teks) berfungsi mengungkapkan realitas sosial budaya. Aspek-aspek yang dikaji
meliputi bentuk, struktur, dan organisasi teks mulai dari tataran yang terendah
fonologi (fonem), gramatika (morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat),
leksikon (kosakata), sampai dengan tataran yang lebih tinggi seperti sistem
pergantian percakapan, struktur argumentasi, dan jenis-jenis aktivitas.
9.
Gillian Brown dan George Yule
Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang
digunakan. Analisis wacana bertitik tolak dari segi fungsi bahasa, artinya
analisis wacana mengkaji untuk apa bahasa ittu digunakan. Di dalam analisisnya
kedua ahli tersebut memfokuskan pada dua fungsi utama : (1) fungsi
transaksional, yaitu fungsi bahasa unttuk mengungkapkan isi, dan (2) fungsi
interaksional, yaitu fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan
hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi.
10.
Michael Mc Carthy
Analisis wacana berkaitan dengan studi tentang hubungan
antara bahasa dengan konteks dalam pemakaian bahasa. Analisis wacana
mempelajari bahasa dalam pemakaian : semua jenis teks tetulis dan data lisan,
dari percakapan sampai dengan bentuk-bentuk percakapan yang sangat melembaga.
Analisis wacana mencakup studi tentang interaksi lisan atau tulis. Senada
dengan Brown dan Yule, Carthy juga berpandangan bahwa analisis wacana
menekankan pada hubungan antara bahasa dengan konteks dalam pemakaian bahasa,
baik berkenaan dengan teks tertulis maupun data lisan.
11.
Malcolm Coulthard
Terlihat adanya perbedaan penggunaan istilah antara
wacana lisan dengan teks tulisan, tetapi perbedaan tersebut tidak berlaku
secara universal. Istilah teks lebih mengacu pada lisan, sedangkan istilah
wacana lebih mengacu pada tulisan.
12.
Jusuf Syarif Badudu
Wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan,
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk
satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara
kalimat-kalimat itu. Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan
tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang
berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara
lisan atau tertulis.
13.
I. Praptomo Baryadi
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan
secara lisan seperti pidato, ceramah, kutbah, dan dialog, atau secara tertulis
seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari
segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari segi makna bersifat
koheren, terpadu.
Langganan:
Postingan (Atom)